REVIEW - TASBIH KOSONG

Sineas Muda
0

"Kosong adalah isi, isi adalah kosong", ucap Biksu Tong. Sebuah petuah bijak tentang bagaimana segala sesuatu dalam hidup sejatinya bersifat relatif, sehingga mesti dipandang melalui banyak sisi. Tapi mau dilihat memakai perspektif apa pun, Tasbih Kosong tetaplah kosong. 

Sebelum film dimulai, muncul kalimat peringatan. Bukan soal "kisah ini fiktif belaka" atau "tidak ada hewan yang dilukai", tetapi kurang lebih berbunyi, "PERHATIAN! Dilarang keras melakukan ajaran sesat seperti pesugihan". Ribuan film sudah saya tonton, dan baru Tasbih Kosong yang terpikir mencantumkan kalimat tersebut. Sungguh religius. Kalau James Cameron menonton ini, niscaya beliau segera bertobat, memeluk Islam, lalu mengganti nama jadi Hamas Kamran. 

Kisahnya dibuka di tahun 2020, sebelum mengajak penonton mundur ke tahun 1995. Anehnya adegan berlatar masa kini itu tak pernah dikunjungi lagi dan dijelaskan maksudnya. Tapi biarlah. Mungkin sutradara dan editor lupa menyertakannya. Tak apa. Manusia tempatnya salah. 

Di tahun 1995, dua pegawai Badan Pusat Statistik, Umar (Fritz Frederich) dan Asti (Riskyana Hidayat), mengunjungi desa terpencil di Sulawesi guna melakukan pendataan ulang penduduk. Di sana mereka tinggal di rumah Pak Kades (Muhammad Taufik Achmad), yang meski dari luar nampak baik, sejatinya mempraktikkan pesugihan. Tasbih yang selalu digenggam bukan dipakai menyebut asma Allah, melainkan benda keramat. Dia rutin salat, namun sambil bertelanjang dada alih-alih menutup aurat. Gerakan salatnya pun berbeda. Lebih seperti yoga. 

Tasbih Kosong mampu tampil memuaskan, dengan syarat kita melihatnya sebagai komedi. Filmnya jago memancing tawa. Jangankan penonton, dalam 90% kemunculannya, Pak Kades pun selalu tertawa. Mungkin dia sendiri geli mengingat pose yoganya. Deretan kalimat dalam naskah buatan sang sutradara, Arie Achmad Buang, juga tak kalah menggelikan. Simak obrolan berikut:

Pak Kades: Asti sudah bangun?

Umar: Belum pak, mungkin masih tidur

Rasanya jika Umar ditanya, "Apa kamu sudah sehat", dia bakal menjawab, "Belum pak, mungkin saya masih sakit". Jenius!

Bagaimana tiap pengadeganan dirumuskan, akting jajaran pemain, sampai gaya penyuntingan yang sengaja dibuat berantakan pun makin efektif memancing tawa. Tapi saya agak mengasihani Riskyana Hidayat yang menyandang gelar Miss Aura 2022 (kreditnya turut menyertakan itu). Sepanjang durasi ia terlihat seperti enggan terlibat dalam film ini dan tak sabar menanti syuting usai. 

Jangan kira Tasbih Kosong cuma menghadirkan komedi berkedok horor. Romansa tidak ketinggalan diselipkan, ketika Umar jatuh hati pada Rajeng (St Ardiana Arifin), puteri dukun di desa. Arie Achmad Buang sendiri bak lebih tertarik pada elemen drama serta romansa, yang terlihat dari tendensinya menggulirkan pengadeganan melodrama secara berlama-lama. Sedangkan horornya cuma mengandalkan beberapa penampakan dengan trik super malas. 

Tasbih Kosong juga punya dua hobi aneh. Hobi pertama: menampar karakter wanita. Ada tiga wanita muda di film ini, dan semuanya pernah ditampar. Hobi kedua baru muncul di menit-menit akhir, yakni menumpuk twist bodoh. Disebut bodoh karena datang mendadak, serta membuat tindakan-tindakan yang karakternya lakukan sebelum twist tersebut jadi (makin) bodoh. 

Film ini bukannya tanpa potensi. Di dalam naskahnya tersimpan peluang menampilkan perspektif menarik tentang, well, "tasbih kosong". Betapa tampilan luar seseorang tak menjamin kealiman hatinya, serta bagaimana perbuatan musyrik tidak hanya dilakukan secara individu, tapi sudah menjangkiti seisi kampung. Sayang, potensi-potensi itu akhirnya tetap terkubur jauh di dalam kelucuan-kelucuan yang timbul tanpa disengaja.

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)